Suharto, Tempe, Malaikat dan Doa

Menyaksikan berita di terlevisi akhir akhir ini penuh dengan berita tentang dirawatnya jendral besar Suharto mantan presiden Indonesia. Berita ini tentu saja membuat perhatian banyak kalangan, dari mulai pejabat, Artis,dan Bupati silih berganti berdatangan menjenguk orang nomor satu tersebut. Pengajian dan doa pun digelar dimana mana,untuk mendoakan mantan presiden nomor satu tersebut.

Beda dengan kasus bunuh dirinya slamet, seorang pedagang gorengan di Pasar Badak Pandeglang Banten yang terpaksa mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Ia tak tahan dengan tekanan hajat hidup yang semakin berat. Sebagai pedagang kecil pendapatannya terus menurun, sementara minyak tanah semakin sulit didapat dan harganya terus naik. Ditambah melonjaknya harga bahan-bahan pokok dagangannya: tempe, tepung terigu, tepung tapioka, sayuran dan minyak goreng.. Doa bagi selamet pun jarang terdengar sama sekali,mungkin Rakyat kita lebih sibuk mendoakan orang yang sudah tua itu dengan mendoakan keselamatan bangsa yang mulai diancam oleh rongrongan kapitalisme global.

Suharto dan tempe merupakan dua makhluk yang berlainan, Suharto bagi kalangan akitivis HAM adalah makhluk yang “predator”, dengan kebijakanya dia membunuh banyak manusia, terutama orang orang yang dianggap bersebrangan dengan kepemimpinanya. Sedangkan tempe terbuat dari Kedelai, tempe merupakan makanan lauk pauk yang paling banyak di konsumsi masyarakat Indonesia. Tempe terbuat dari kedelai yang kebanyakan diimpor dari Amerika serikat dan Kanada.

Isu Suharto adalah sangat menarik karena dia adalah mantan orang nomor satu di negeri ini, tapi ada selubung idiolgi disana, beberapa media kita yang sebagain besar sahamnya adalah milik keluarga cendana, pemberitaanya pun selalu normatif dan seolah ada pengiringan opini dikalangan berita tersebut agar suharto di maafkan, mereka (media) sadar bangsa kita adalah bangsa yang latah, pelupa, sehingga kasus kasus hukum mantan orang nomor satu tersebut agar dimaafkan. Mereka(media) tidak akan mengekpose secara berlebih berita tentang kematian selamet, pedagang gorengan yang gantung diri akibat kebijakan pemerintah yang membuka pasar tampa mempersiapkan rakyatnya secara matang.

Ada berita yang menarik yang saya baca, Ustad mansur, seorang ustad yang sedang kondang mendoakan suharto dan menitipkan wirid hismullahiladzim kepada keluarga Soeharto, menurutnya Hismullahiladzim berasal dari salah satu ayat Alquran dan jika dibaca maka Allah akan menurunkan 70.000 malaikat.. doa tersebut menurut saya adalah doa pesanan, doa yang diminta oleh keluarga yang banyak duit, saya kira Selamet yang gantung diri pun sangat ingin di doakan seperti Suharto, tapi karena buat makan saja sulit apalagi membayar doa kepada Ustad mansur, jadi malaikat pun datang kalau ada pesanan. Bagi seorang Slamet atau yang lainya, mereka sangat jauh dari mailkat, paling malaikat yang ada di kedua tanganya, tidak sperti Suharto yang sekarang lagi di kawal oleh 70.000 malaikat.

Kenaikan tempe dan kelangkaan minyak tanah akhir akhir ini sangat memberatkan rakyat, saya kira lebih baik dan bijiak kalau kita semua berdoa untuk keselamatan bangsa Indonesia agar terhindar dari ganasnya system pasar bebas ketimbang mendoakan seorang yang sudah tua, yang sudah selayaknya menghadap Tuhan. Dan kita undang jutaan malakat untuk menemani dan mendoakan rakyat Indonesia.agar terhindar dari musibah

Menatap kebebasan beragama di Indonesia

Oleh : M. Zaim Nugroho

Sepertinya tatapan kita kedepan akan kebebasan beragama nampak dipenuhi kabut, kabut itu makin pekat ketika beberapa waktu yang lalu “pembuat Fatwa” meminta tambahan dana dari penguasa negeri ini menjadi 18 trilyun yang sebelumnya 16 trilyun, angka yang menurut saya cukup fantastis bagi pembuat fatwa swasta tersebut, jika saja jumlah pundi pundi tersebut digunakan untuk pemberdayaan fakir miskin mungkin akan sangat membantu negara ini dari kesulitan ekonomi.
Menatap kebebasan beragama kedepan mungkin akan lebih suram lagi jika fatwa fatwa yang membelenggu itu terus di produksi, fatwa itu hanya membikin keresahan dan penjustifikasian akan kekerasan yang dilandasi masalah agama, tengoklah fatwa sesat terhadap kelompok ahmadiyah yang berujung pada pengrusakan fasilitas ibadah diberbagai daerah diindonesia, di parung kampus Ahmadiyah di rusak, di kuningan, komunitas ahmadiyah diusir dan rumah ibadahnya dibakar, di lombok, komunitas ahmadiyah meminta suaka politik kepada nergara selandia baru gara gara rumah mereka dibakar, dirusak.
Sama seperti kelompok ahmadiyah, komuniatas jemaat Lia aminudin juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda, ketua jemaatnya, Lia aminudin masuk jeruji besi lantaran dikenai pasal tentang penodaan agama, lainya, ketua jemaat al qiyadah, Abdul somad akhirnya tobat didepan polisi dan kejaksaan setelah berdebat panjang dengan KH. Said Aqil Siraj.
Negara ini adalah negara yang berlandaskan bhineka tunggal ika, negara yang kaya akan ragam budaya, agama, suku, warna kulit, bahasa, negara ini akan sulit dalam hal toleransi jika pengambil kebijakan di negeri ini masih memberikan pundi pundi yang sangat tidak efisien bagi pembuat fatwa tersebut, jika saja pembuat fatwa sesat tersebut di bubuarkan, mungkin negara ini akan jauh lebih bermartabat dan lebih netral, negara sejatinya bukanlah memikirkan keyakinan seseorang atau kelompok sebab masalah keyakinan adalah masalah privat, negara sama sekali tidak berhak atas apapun dalam masalah keyakinan. Masih layak jikalau penguasa negeri ini mengurusi dan memikirkan masalah pencaplokan budaya kita oleh Negeri jiran beberapa waktu yang lalu dari pada mengurusi dan memikirkan keyakinan rakyatnya.
Tatapan saya mudah mudahan keliru, mudah mudahan tatapan saya kali ini salah demi masa depan kebebasan beragama, kebebasan yang akan memerdekakan kita dan kalian semua dari semua belenggu penidasan dan interfensi apapun terhadap akal dan pendapat kita, sapere Aude…..! ujar Imanuel kant ketika menatap modernitas dan kebebasan di negeri Prusia sana.
Tatapan ”pembuat fatwa” pastilah akan sangat berbeda dengan saya, mereka mungkin ingin sekali masyrakat indonesia tunduk atas titah yang mereka buat, sehingga pembuat kebijakan pun dibuat gagu terhadap fatwa fatwanya. Negara ini mungkin masih sakit, masih jauh dari akal budi, akal budi kita masih diliputi oleh kecurigaan dan prasangka yang terus di produksi demi keangkuhan mereka sebagai mayoritas.
Sepertinya orang seperti saya harus siap siap meratapi nasib kebebasan beragama yang masih di selimuti kabut gelap, kabut hitam pekat itu sampai sapai tidak bisa menerangi jalan saya untuk melangkah, hanya lampu pencerahan yang sajalah yang bisa menerangi saya dari kabut gelap tersebut. Lampu tersebut masih jarang dimiliki oleh bangsa ini. Saya jadi teringat tatapan jhon Lennon tentang kebebasan di dunia, dalan syairnya

Imagine there’s no heaven its esasy if you try
No hell below us above us only sky
Imagine all the people living for today
You may say I’m a dreamer
But I’m not the only one
I hope someday you join us
And the world will be as one
Imagine there’s no contries..
Its’n hard to do
Nothing kill and die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace
Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world

Bayangkan tiada sorga, gampang kalau kaucoba saja,
tiada neraka di bawah jita, di atas hanya ada langit.
Bayangkan semua orang hidup untuk hari ini,
.mungkin kaubilang aku mimpi, tetapi saya tidak sendirian,
Kuharap suatu hari kau juga akan ikut, dan dunia ini akan menjadi satu.
Bayangkan tiada negara-negara, tidak sulit dilakukan,
tiada yang untuknya kita harus membunuh atau mati,
tiada agama juga; bayangkan semua orang hidup berdamai.
Bayangkan tiada harta, saya heran kalau kau bisa,
Tiada alasan untuk kecemburuan dan kelaparan,
persaudaraan antara manusia! Bayangkan, semua orang membagi seluruh dunia.

Merawat Warisan Pluralisme KH. Abdullah Abbas

Oleh : M Zaim Nugroho*


Belum lama ini kita dikagetkan oleh sebuah peristiwa duka dengan wafatnya KH. Abdullah Abbas, tokoh yang menurut Masdar Farid Masudi sebagai penyagga NU. Kita semua bersedih dan berduka atas mangkatnya beliau, karena beliau adalah panutan dan sandaran warga nahdhiyin di seluruh pelosok negeri ini.KH Abdullah Abbas adalah seorang tokoh yang sangat tawadhu dan rendah hati, beliau tidak pernah membedakan tamu tamunya, entah itu dari golongan pejabat atau tukang beca, bahkan beliau tidak pernah memebeda bedakan tamunya darimana agamanya berasal. beliau adalah sosok yang banyak dikagumi banyak orang. .

Kadang kita sering beranggapan bahwa pluralisme adalah sesuatu kata yang bukan berasal dari kosakata kita, kata itu seolah adalah kata dari barat yang harus kita tolak dan kita jauhi samapai samapai MUI mengeluarkan fatwa yang melarang ajaran Pluralisme sebagai sebuah ajaran, padahal Pluralisme adalah keberagaman dari tiap tiap individu atau kelompok.keberagaman itu adalah merupakan fitrah dari Allah. Keberagaman merupakan sesuatu yang tidak bisa kita elakan dari alam dunia ini.

KH. Abdullah Abbas merupakan sosok yang pluralis, sosok kyai yang jarang sekali ditemui didunia pesantren, beliau merupakan kyai yang yang sangat memperjuangkan nilai nilai pluralis,dan bagi beliau pluralis sejalan dengan ajaran agama Islam. terbukti beliau sangat menghormati kaum minoritas seperti etis Cina dan kelompok Lia Aminudin (komunitas Lia Eden). Lebih jauh beliau pernah melakukan doa bersama dengan kelompok Lia Eden untuk keselamatan bangsa Indonesia.

Ketika Bom Bali II menggetarkan dan meluluhlantahkan pulau dewata, beliau tidak segan untuk pergi ke Bali dan mengucapkan belasungkawa kepada keluarga korban serta mendoakan para korban bersama pemuka agama agama lain. Beliau juga mengutuk keras peristiwa laknat itu dan mengatakan bahwa peristiwa peledakan bom Bali tersebut bukan merupakan ajaran Islam dan Islam sama sekalai tidak mengajarkan ummatnya untuk berbuat seperti itu. Karena ajaran islam adalah ajaran yang rahmatan lil alamin.

Sifat seperti itulah yang mungkin jarang sekali ditemui oleh sosok ulama sekarang, dan dengan sikap itu pulalah orang sangat mengagumi sosok beliau, beliau adalah tempat wewadul umat manusia dari tukang beca samapai Menteri, dari para pengangguran samapai para konglomerat, dari kaum mayoritas sampai kaum minorotas. sosok beliau adalah pengayom bagi umat manusia, beliau tidak pernah melihat manusia sebagai oposisi biner, beliau justru memandang manusia sebagai subjek yang utuh untuk dihormati.

Kita sebagai umat manusia sangat kehilangan sosok pengayom seperti beliau, ditengah makin maraknya isu syariat Islam dan “pendongkelan” pancasila oleh kelompok fundamental yang ingin mengantikanya dengan islam sebagai ideologi dan beberapa kekerasan yang mengatasnamakan Agama kita justru kehilangan sosok beliau. Sosok beliau adalah sosok yang memandang bahwa islam merupakan sebuah jalan hidup untuk diamalkan bukan untuk diperjuangkan sebagai ideologi.

KH Abdullah Abbas adalah mursyid Thariqoh Syathoriyah yang sangat tawadhu, sangat rendah hati beliau itu merupakan modal dasar bagi beliau untuk menunjukan bahwa islam merupakan sebuah jalan bagi umat manusia untuk samapai kepada Tuhanya, maka tidak heran jika ada yang menyebut bahwa beliau adalah tokoh penyagga NU.

KH Abdullah Abbas kini telah tiada, beliau kini tidak lagi bersama kita, tapi semangat beliau akan tetap ada bersama kita yaitu semangat menjaga persatuan dan keberagaman dalam bingkai Islam Indonesia yang sangat menghormati keberagaman. Mari kita jaga warisan serta amalan yang terbesar ini.

*Penulis adalah pegiat di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) dan aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK)

MENDIAGNOSA KEKERASAN MASSA

Oleh : M. Zaim Nugroho*

Belum lama kita beranjak dari bulan ramadhan, bulan yang penuh kasih sayang dimana kita sebagai umat manusia dituntut untuk memanifestasikan rasa kasih sayang itu untuk peduli dan saling menghormati terhadap sesama umat manusia, kekerasan Massa yang belum lama ini di Poso, yang menimbulkan korban adalah sebuah kekerasan Massa yang terjadi akibat konflik ditimbulkan atas nama Agama, Agama yang sejatinya dituntut untuk membawa umat manusia menjadi pengayom bagi kehidupan manusia dirusak karena masalah fanatisme sempit dan buta, mereka menggap kelompok lain sebagai sesuatu yang layak untuk dimusnahkan. Untuk itu pulalah saya akan sedikit mendiagnosa kekerasan Massa dalam sudut pandang Ilmiah.

Di dalam bukunya memahami negatifitas “ diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, F.Budi Hardiman mempertanyakan Mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya? Pertanyaan itu akan muncul karena timbul keheranan dari diri kita. Keheranan adalah sebuah persaan yang timbul dari diri kita ketika menghadapi sesuatu yang tidak lazim. Bayangkan bila di dalam masyarakat kita kekerasan dianggap sesuatu yang lazim. Pasti tak ada keheranan yang muncul atasnya, akal pun tertidur dan secara bersamaan dengan itu kekerasan tidak pernah dipersoalkan.

Kekerasan massa seperti kerusuhan ,huru hara, pengeroyokan, penjarahan, pembantaian, pemberontakan, revolusi dan seterusnya meruapakan fenomena yang sangat diminati tidak hanya oleh para politikus, melainkan juga para sejarawan, sosiolog, filusuf, psikolog, sastrawan dan kritikus kebudayaan. Kekerasan sering meletus dalam sejarah umat manusia. Pemberontakan budak dizaman Romawi kuno, peralawanan rakyat Prancis melawan Raja Lois ke IV adalah peristiwa kekerasan massa yang dicatat didalam sejarah dunia. Kekerasan memang tidak hanaya terajadi di dunia Eropa, tetapi sering juga terjadi di Dunia ke tiaga. Indonesia adalah salah satu contoh negara yang mempunyai tradisi kekerasan massa yang cukup rutin .Pembunuhan masal di tahun 60-an terhadap anggota PKI, tragedi Priok dan masih basah dalam ingatan bayak orang kerusuhan yang berbau SARA pada tanggal 13-14 mei 1998 belum juga kekerasan yang terjadi di Sampit dan masih banyak kekerasan lainya.

Yang jadi persoalan bagi kita adalah mengapa gempa sosial itu bisa terjadi? bagaimana kita bisa menerangkan kondisi kondisi kekerasan massa semacam itu untuk menemukan “ struktur struktur “ tertentu dari peristiwa yang tampaknya tak tersruktur itu.? Untuk itu saya akan mengutip beberapa pandangan para tokoh yang menyumbangkan teori teorinya tentang kekerasan Massa yang begitu destruktif.

“ Massa “ istilah ini banayak digunakan dalam banyak arti dan sering tidak tepat karena mengacu pada berbagai fenomena. Dalam ranah ini saya hanya akan mengungkapkan istilah “massa” yang berarti massa yang tidak mengindahkan norma norma sosial yang berlaku sehari hari. Massa yang berkaitan hanya pada situasi khusus yang sifatnya Abnormal .Gustave le Bone ,bapak psikologi massa, mengatakan bahwa massa itu bodoh, mudah diprovokasi, bersifat rasistits atau singkat kata irrasoanal. Massa menurutnya terkungkung dalam batas batas ketidak sadaran, tunduk pada segala pengaruh, mudah diombang ambing oleh emosi dan mudah percaya. Di dalam massa individu individu yang berbeda memiliki ” dorongan -dorangan, nafsu-nafsu dan perasaan-perasaan yang sangat mirip “ dan bertingkah laku sama. Sigmund Freud ( bapak psikoanalisa ) juga mengatakan situasi massa adalah “ regresi ke aktiviatas psikis yang primitif…bangakitnya kembali gerobolan purba dalam diri kita,” teori –tori itu mungkin akan berlainan dengan apa yang dikatakan toori Marxis yang lebih melihat massa sebagai sebuah massa yang sadar kelas. Teori Marxis tidak memandang fenomena massa sebagai ledakan emosi atau pelampiasan naluri naluri biadab,karena aksi massa yang revolusioner berasal dari konflik kepentingan kelas kelas atau ketidak samaan struktural. Artinya mereka peserta aksi massa tidak bertindak melulu karena emosi, melainkan “strategis” :mereka mengikuti kepentingan-kepentingan kelas mereka yang bersifat objektif. Atau dengan kata lain aksi massa mereka bersifat rasional.

Manusia yang ikut serta dalam aksi massa tidak melulu digerakan oleh kemarahan, frustasi, agresi, kebencian atau ketidakpuasan seperti binatang buas yang lapar. Mereka juga tidak murni mengikuti orientasi strategis yang melekat pada kepentingan kepentingan mereka. Aksi massa bukanlah “ prilaku kolektif ” , juga bukan “ akibat logis “ dari mekanisme struktural. Menurut teori tindakan kolektif misalnya yang mendekati akis massa sebagai ” tindakan”. Disini perilaku dibedakan secara tegas dari tindakan : perilaku berkenaan dengan spontanitas naluriah, sementara tindakan menyangkut kesadaran manusiawi. Dalam keadaan keadaan tertentu orang berkumpul dan bertindak bersama diluar kerangka institusional itu untuk mengubah sesuatu yang secara individual tak bisa mereka lakukan.

Dari teori teori diatas dapat dilihat kekerasan massa seperti kerusuhan, penjaharan, konflik etnis, agama dan sebagainya adalah prilaku yang sama sekali irrasional, yang tidak mencerminkan rasa kemanusian, dalam ranah moderen sekarang konflik itu terus terjadi bahkan kalu dibiarkan akan semakin menjadi seiring dengan rasa dendam dan rasa akan diri dan kelompok yang merasa paling benar terus terpelihara, krisis identitas itu juga akan semakin tumbuh seiring dengan rasa ego akan diri yang juga bisa meletus sewaktu waktu menjadi kekerasan massa.

Dalam tulisan ini juga saya ingin mengatakan dalam diskursus epistemologi kekerasan massa dipandang sebagai sesuatu yang tidak hanya regresi atau amarah suatu kelompok belaka tetapi lebih jauh lagi merupakan sebuah kekacauan dan ketidakstabilan norma norma sosial, dimana sebuah tatanan didobrak secara paksa dengan alasan dendam atau dengan sengaja ingin menghancurkan tatanan sosial tersebut.

*Penulis adalah masasiswa UIN Syarif hidayatullah, Bergiat di FORMACI.(Forum Mahasiswa Ciputat) dan Aktifis JARIK (Jaringan Islam Kampis)

**tulisan ini dibuat sekitar tahun lalu ketika tragedi di Tanah runto, Poso bergolak

Pesantren Diantara Himpitan Globalisasi

Globalisasi dan Modernisasi adalah dua sisi dari satu mata uang, Ia juga menawarkan sebuah pilihan yang ambivalen, satu sisi berakah kalau mamang kita siap, dan mungkin juga membawa petaka kalau kita gagap. Globalisasi juga menawarkan berbagai mancam pilihan bisa menguntungkan juga membahayakan. Sebab didalam globalisasi terjadi kompetisi, bukan hanya yang kuat dengan yang kuat saja yang berkopetensi tetapi juga yang kuat dan yang lemah dituntut pula berkopetensi.Globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang nyata yang mau tak mau akan kita hadapi bersama, Ia tak terelakkan (inevitable). Globalisasi pun mewarkan sejuata mimpi, harapan, serta kemudahan dalam mengakses informasi. Apa dan bagaimana Globalisasi bisa tercipta tercipta dan bagaima nasib pesantren di era globalisasi ini?

Globalisasi lebih dari sekadar lonjakan volume lalu lintas ekspor dan impor. Ia menyangkut perubahan mendalam pada cara mengalami hidup. Sebagaimana komunikasi Jakarta-Cirebon kini bisa dilakukan dalam sekejap, begitu pula komunikasi antara Makkah-Jakarta tidak lagi membutuhkan waktu berbulan. Dan itu terjadi pada migrasi, transportasi, media, perdagangan, dan sebagainya. Maka dunia tidak lagi sunyi karena jarak waktu ruang, tetapi riuh rendah dengan lalu lintas pertukaran barang, gagasan, perasaan, sampai perkara-perkara maya (virtual). Sebagai arena tindakan, dunia kian menjadi satu unit. Sebagai rentang wawasan, dunia kian menjadi satu arena.

Pesantren adalah cara didik yang mengkhususkan dalam hal agama dan masih melestarikan tradisi lokal,(dalam tulisan ini yang saya maksud adalah pesantren salaf). Dalam era globalisasi ini sejuta kemudahan tercipta, seakan akan kita tidak perlu lagi duduk dan mengaji kitab kuning sambil mendengarkan Kyai berujar, tapi cukup mendownload di Internet (atau sudah dalam bentuk program CD yang bisa diakses lewat komputer) maka Kitab yang kita inginkan akan segera muncul beserta terjemahanya dengan lengkap. apalagi kalau yang kita akses adalah kitab Tafsir maka cukup dengan menuliskan ayat apa yang kita maksud maka munculah Ayat itu lengkap dengan terjemahan dan tafsir dari para Ulama dahulu sampai Ulama kontemporer.

Memang dalam tradisi salaf ada istilah ngalap berkah, atau mencari sanad, tapi di era globalisasi ini apakah tradisi ini masih tetap bisa di pertahankan? Mungkin orang modern akan berkata bukankan itu akan memerlukan banyak waktu dan dinggap tidak efisien? Dalam analisis Weber misalnya, salah satu cara pandang masyrakat moderen adalah cara pandang Instrumental, artinya tindakan individu melulu menggunakan untung rugi, efisiensi, atau lebih memikirkan tujuan dari pada cara yang didapat.

Kalau kita melihat realitas di perkotaan menjadi santri kini tidak harus diidentikkan dengan sarung dan mengaji di langgar saja. Sekedar contoh, para santri Pesantren Darunnajah di Ulujami Jakarta Selatan ternyata telah akrab dengan e-mail karena di dalam pesantren tersebut ada sebuah warnet yang dipergunakan bergantian antara santri pria dan wanita. Ada pula pesantren Annida di Bekasi, yang memang telah benar-benar memberikan materi pendidikan e-mail dan Internet kepada para santri-santrinya.

Kalau itu semua terjadi mungkinkah pesantren salaf akan tetap eksis diantara himpitan modernitas yang tentu saja melahirkan pikikiran yang lebih mementingkan tujuan dari pada cara tersebut.Memang analogi yang saya tawarkan cenderung mengkongklusikan antara realitas perkotan dan pesantren yang ada di pedesaan. Tapi sampai kapan kita berdiam diri dan acuh terhadap permasalahan modernisasi yang sebentar lagi akan memasuki rumah dan pikiran kita.

Sebuah momentum globalisasi telah didentumkan oleh negara dunia pertama,yang ini jelas akan memepengaruhi sendi sendi kehidupan keberagaman kita dimana akses informasi yang begitu cepat akan sedikit demi sedikit merubah konstruksi paradigma kita dan lambat laun akan digantikan oleh paradigma baru, pesantren yang ghalibnya merupakan palang pintu pelestarian tradisi akan segera diuji kekokohanya oleh yang namanya globalsasi.

Ada baiknya kalau pesantren bijak menghadapi masalah ini, kalau pesantren serta merta menolak globalisasi dengan melestarikan kostruksi lama dan tidak mau melihat sesuatu yang baru sangat jelas ini akan merugikan pesantren di kemudian hari, karena orang moderen sebagai mana saya sebutkan diatas lebih memenitingkan nilai nilai instrumental.

Meninggalkan tradisi dan konstruksi lama bagi pesantren juga menurut saya keliru,solah olah kita melupakan identitas kita dan sejarah kita yang tentu juga kaya akan makna dan simbol simbol luhur dan sangat tidak bijak juga kalau mengatakan sesuatu yang lama itu buruk,kolot,ketinggalan zaman dan sebagainya. Menurut saya, pesantren akan lebih bijak kalau pesantren menggunakan kaidah Ushul Fiqih ini

Al muhafadhotu alaa qodimi shalih wal akhdu bi jadidil ashlah.

melestarikan nilai nilai lama yang baik dan menggali nilai nilai baru yang lebih baik.

Wallahu a’lam……

*. Penulis adalah Alumni pondok Buntet pesatren,Mahasiswa UIN Syarif hidayatullah jakarta, bergiat di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) dan aktivis Jaringan Islam Kampus (JARIK)